Pages

Senin, 05 September 2011

Fathimah bintu Rasulillah

Fathimah bintu Rasulillah
(ditulis oleh: Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)

Siapa yang tak mengenal namanya, sekuntum bunga di tengah Bani Hasyim. Tumbuh di taman yang sarat cahaya kenabian, disunting pemuda yang memiliki kemuliaan. Tebaran ilmunya menghiasi sejarah perjalanan manusia.

Dialah putri seorang Nabi, yang terlahir bertepatan saat kaum Quraisy membangun kembali bangunan Ka’bah. Fathimah bintu Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim Al-Hasyimiyah. Ibunya seorang wanita yang tak asing lagi kemuliaannya, Khadijah bintu Khuwailid. Dia lahir menjelang diangkatnya sang ayah sebagai nabi.

Dia tumbuh di bawah naungan ayah bundanya. Dia teramat dicintai dan dimuliakan oleh ayahnya. Berangkat dewasa hingga memasuki 15 tahun usianya. Kala itu, datang seorang pemuda ke hadapan Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam, dengan sebuah hasrat memetiknya. Bertanya Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam kepadanya, “Apa yang engkau miliki sebagai mahar?” “Aku tidak memiliki sesuatu pun,” jawab pemuda itu. “Di mana baju besi yang pernah kuberikan padamu?” tanya Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam lagi. “Masih ada padaku,” jawabnya. “Berikan itu padanya,” kata Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam

Dengan mahar itulah, empat bulan setelah berpengantin dengan ‘Aisyah radiallahu anha,  Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam menikahkan sang pemuda, ‘Ali bin Abi Thalib radliallahu anhu, dengan putrinya, Fathimah radiallahu’anha. Saat itu, ‘Ali bin Abi Thalib radiallahuanha berusia 21 tahun 5 bulan sementara Fathimah menginjak 15 tahun 5,5 bulan usianya. Sebelum itu, Abu Bakr Ash-Shiddiq radiallahu’anhu pernah pula berniat meminang Fathimah raidallahu’anha, begitu pun ‘Umar bin Al Khaththab randiallahuanhu. Namun Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam tak menyambut pinangan mereka berdua dan menolaknya dengan halus.

Mempelai pengantin mulia yang begitu bersahaja. Tak ada pada mereka selain hamparan dari kulit dan bantal kulit yang berisi sabut. Berjalan seiring dalam rumah tangga yang begitu bersahaja. Mengambil air, menggiling tepung, mereka lakukan dengan kedua tangan mereka sendiri, hingga suatu saat mereka rasakan beratnya. Dada ‘Ali terasa sakit, tangan Fathimah melepuh karenanya. ‘Ali pun mengusulkan untuk meminta seorang pembantu kepada Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam yang saat itu Allah karuniai para tawanan. Fathimah radiallahu’anha datang kepada ayahnya.

“Apa yang menyebabkanmu datang kemari, putriku?” tanya Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam ketika itu. Rasa malu menyelimuti Fathimah untuk mengutarakan maksudnya meminta seorang pembantu. Akhirnya dia hanya berucap, “Aku datang hanya untuk mengucapkan salam padamu”. Pulanglah ia kepada suaminya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya ‘Ali. “Aku merasa malu untuk meminta padanya,” jawab Fathimah. Lalu mereka berdua datang bersama ke hadapan Rasulullah
sallallahu’alahi wasallam untuk menyampaikan keinginan mereka. Namun ternyata beliau menolaknya. “Demi Allah, aku tidak akan memberikannya pada kalian berdua sementara aku biarkan ahlus shuffah kelaparan karena aku tidak memiliki apa pun untuk kuinfakkan pada mereka. Aku akan menjual para tawanan itu dan menginfakkan hasilnya untuk mereka.”

Kembalilah mereka berdua tanpa membawa apa yang mereka harapkan.
Saat mereka berbaring di tempat tidur, berselimut dengan selimut yang bila ditutupkan ke kepala terbuka kaki mereka, bila ditutupkan ke kaki terbukalah kepala mereka. Tiba-tiba datang Rasulullah
sallallahu’alaihi wasallam. Mereka berdua pun bergegas bangkit.

“Tetaplah di tempat kalian!” kata Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam. Beliau berkata lagi,
“Maukah kuberitahukan pada kalian sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Apabila kalian mulai berbaring di pembaringan kalian, bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali.” 

Betapa sang ayah yang mulia ini teramat mengasihi dan memuliakan putrinya. Bila sang putri datang, biasa Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam mengucapkan selamat datang padanya, menyambut dan menciumnya, lalu menggamit dan membimbing tangannya untuk didudukkan di tempat duduknya. Pun demikian sang putri memuliakan ayahnya. Bila sang ayah datang padanya, segera diucapkannya selamat datang kepadanya, seraya berdiri menyambut, menggamit tangannya dan mencium sang ayah. Duhai, kasih sayang yang kan terbaca setiap orang yang menyaksikannya.

Suatu ketika, ‘Ali bin Abi Thalib radiallahu’anhu berniat meminang putri Abu Jahl. Mendengar berita itu, Fathimah radiallahu’anha datang mengadu kepada ayahnya. Naiklah Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam di atas mimbar. Setelah bertasyahud, beliau berkata, “Tidaklah aku mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram. Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku, merisaukanku apa pun yang merisaukannya, dan menyakitkan aku apa yang menyakitkannya.” Beliau berkata pula, “Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan putri musuh Allah di bawah seorang pria selama-lamanya.” Mendengar itu pun, Ali membatalkan pinangannya.

Dia pulalah yang mendapatkan kemuliaan di antara keluarga Rasulullah
sallallahu’alaihi wasallam, mendengar kabar dekatnya ajal beliau. Ketika beliau sakit menjelang wafat, Fathimah radiallahu’anha datang menemui ayahnya, Sang ayah menyambutnya dengan ucapan selamat datang dan menciumnya, lalu berbisik-bisik kepadanya hingga Fathimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi padanya, lalu Fathimah pun tertawa.

Betapa pemandangan itu mengherankan para istri Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam, sampai-sampai ‘Aisyah bertanya padanya, “Apa yang beliau katakan padamu?” “Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam ,” jawab Fathimah. Setelah Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam wafat, Fathimah radiallahu’anha pun menyampaikan jawabannya, “Waktu itu beliau membisikkan padaku, ‘Sesungguhnya aku hendak meninggal’. Mendengar itu, aku pun menangis. Lalu beliau berbisik lagi, ‘Sesungguhnya engkau adalah orang pertama di antara keluargaku yang akan menyusulku’. Hal itu membuatku gembira.”

Sepeninggal Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam, Fathimah menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq Radiallahu’anhu untuk meminta bagian warisannya. Abu Bakr radiallahu’anhu pun mengatakan padanya, “Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam berkata: ‘Kami tidak mewariskan. Segala yang kami tinggalkan adalah sedekah’.” Marahlah Fathimah kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq radiallahu’anhu dengan jawaban itu. Kemarahan itu terus tersisa hingga menjelang Fathimah radiallahu’anha wafat.
Benarlah apa yang dikabarkan oleh lisan mulia Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam. Sekitar enam bulan setelah Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam wafat, Fathimah radiallahu’anha menyusul sang ayah menghadap kepada Rabbnya.

Ketika Fathimah radiallahu’anha tengah sakit menjelang wafatnya, Abu Bakr radiallahu’anhu datang, meminta izin untuk menemui Fathimah radiallahu’anha. Pada saat itu Abu Bakr radiallahu’anhu meminta kelapangan Fathimah radiallahu’anha untuk memaafkan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Fathimah. Fathimah pun melapangkan hati memberikan maaf dan ridha kepada Abu Bakr radiallahu’anhu.

Tak lama berselang, pada bulan Ramadhan tahun kesebelas setelah kenabian, Fathimah radiallahu’anha, kembali ke hadapan Rabbnya pada usianya yang ke-29. Jauh sebelum meninggal, Fathimah radiallahu’anha pernah berpesan pada Asma’ bintu ‘Umais radiallahu’anha, agar tak seorang pun masuk untuk memandikan jenazahnya kecuali suaminya, ‘Ali bin Abi Thalib radiallahu’anhu dan Asma’. Demikianlah, Asma’ bintu ‘Umais radiallahu’anha menunaikan pesan Fathimah radiallahu’anha.

Datanglah ‘Aisyah radiallahu’anha untuk turut memandikannya, namun Asma’ melarangnya hingga ‘Aisyah mengadu kepada ayahnya. Abu Bakr radiallahu’anhu pun datang dan berdiri di pintu sembari menanyakan peristiwa itu kepada Asma’. “Dulu Fathimah menyuruhku demikian,” ucap Asma’. “Jika demikian, lakukan apa yang dia perintahkan,” jawab Abu Bakr, lalu beranjak pergi.

Fathimah diusung dengan keranda yang dibuat oleh Asma’ bintu ‘Umais radiallahu’anha. Jenazahnya dibawa turun ke kuburnya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib dan Al-Fadhl bin Al-’Abbas g. Malam itu, Fathimah radiallahu’anha dikuburkan oleh suaminya, ‘Ali bin Abi Thalib radiallahu’anhu.

Fathimah radiallahu’anha telah tiada. Namun dia tinggalkan ilmu yang diambilnya dari sang ayah kepada beberapa shahabat; putranya Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Anas bin Malik dan yang lainnya. Dialah yang mendapatkan janji dari lisan Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam yang mulia, sebagai pemimpin para wanita kaum mukminin di surga.

Fathimah bintu Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam, semoga Allah meridhainya….

Sumber bacaan :
·  Al-Isti’ab,  Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1893-1899)
· Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’ad (8/19-29)
· Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz Dzahabi (2/118-134)

Sisalain dari http://asysyariah.com

di publiaksikan kembali oleh Belajar Meniti Jejak Salafus Shaleh
Read more »

Tawadhu' Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam


Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam adalah seorang yang sangat elok akhlaknya dan sangat agung wibawanya. Akhlak beliau adalah Al-Qur'an sebagaimana yang dituturkan 'Aisyah Radhiallahu'anha, ia berkata: "Akhlak Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam adalah Al-Qur'an." (HR. Muslim). 

Beliau juga pernah bersabda: 
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad) 

Salah satu bentuk ketawadhu'an Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam adalah; beliau tidak suka dipuji dan disanjung secara berlebihan. Dari Umar bin Kaththab Radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah bersabda: 
"Janganlah kamu sanjung aku (secara berlebihan) sebagaimana kaum Nasrani menyanjung 'Isa bin Maryam alaihisSalam secara berlebihan. Aku hanyalah seorang hamba Allah, maka panggillah aku dengan sebutan: hamba Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Daud) 

Dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu ia berkata: "Ada beberapa orang memanggil Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sambil berkata: "Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik dan anak orang yang terbaik di antara kami, wahai junjungan kami dan anak dari junjungan kami." Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam segera menyanggah seraya berkata: 
"Wahai sekalian manusia, katakanlah sewajarnya saja! Jangan sampai kamu digelincirkan setan. Aku adalah Muhammad hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak sudi kamu angkat di atas kedudukan yang dianugrahkan Allah Subhannahu wa Ta'ala kepadaku." (HR. An-Nasai) 

Sebagian orang ada yang menyanjung Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam secara berlebihan. Sampai-sampai ia meyakini bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mengetahui ilmu ghaib atau meyakini bahwa beliau memiliki hak untuk memberikan manfaat dan menurunkan mudharat, bahwa beliau dapat mengabulkan segala permintaan dan menyembuhkan segala penyakit. Padahal Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menyanggah keyakinan seperti itu. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: 
"Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik keman-fa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan." (Al-Araf: 188) 

Demikianlah akhlak Nabi yang mulia, seorang utusan Allah Subhannahu wa Ta'ala , sebaik-baik manusia di muka bumi dan seutama-utama makhluk di kolong langit. Beliau senan-tiasa tunduk patuh dan bertaubat kepada Rabbnya. Beliau tidak menyukai kesombongan, bahkan beliau adalah pemimpin kaum yang tawadhu' dan penghulu kaum yang tunduk patuh kepada Rabb Subhannahu wa Ta'ala . Anas bin Malik Radhiallaahu anhu mengungkapkan: 
"Tidak ada seorangpun yang lebih mereka cintai daripada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Walaupun begitu, apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambut beliau. karena mereka mengetahui bahwa beliau Shalallaahu alaihi wasalam tidak menyukai cara seperti itu." (HR. Ahmad) 

Layangkanlah pandanganmu kepada Nabi umat ini Shalallaahu alaihi wasalam . Saksikan sikap tawadhu' beliau yang sangat menga-gumkan dan keelokan akhlak yang langka ditemukan. Beliau tetap bersikap tawadhu' terhadap seorang wanita miskin. Beliau luangkan waktu untuk melayaninya, padahal waktu beliau penuh dengan amal ibadah! 

Dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu ia berkata: "Suatu hari seorang wanita datang menemui Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ia mengadu kepada beliau sambil berkata: "Wahai Rasulullah, saya membutuhkan sesuatu dari Anda." Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berkata kepadanya: "Pilihlah di jalan mana yang kamu kehendaki di kota Madinah ini, tunggulah aku di sana, niscaya aku akan menemuimu (melayani keperluan-mu)." (HR. Abu Daud) 

Beliau hadir dengan segenap jiwa yang terpuji lagi elok. 
Menjulang tinggi ke tempat yang terpuji dengannya. 
Bila disingkap kesturi dari cincinnya kepada jagad raya 
niscaya setiap orang akan merasakan harumnya 
baik yang di gunung maupun di lembah. 
Sungguh, beliau adalah pemimpin segenap ahli tawadhu' baik dalam ilmu ataupun amal. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam beliau bersabda: 
"Andaikata aku diundang makan paha atau kaki binatang, niscaya aku kabulkan undangannya. Andaikata kepadaku hanya dihadiahkan kaki atau paha binatang, tentu akan aku terima hadiah itu." (HR. Al-Bukhari) 

Semoga hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tadi menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi orang-orang yang takabbur dari sifat sombong dan angkuh. 

Abdullah bin Mas'ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: 
"Tidak akan masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji zarrah kesombongan." (HR. Muslim) 

Sifat sombong merupakan jalan menuju Neraka, wal 'iyaadzubillah, meskipun hanya sebesar biji zarrah. Cobalah lihat hukuman yang ditimpakan terhadap orang yang sombong dan angkuh cara berjalannya. Betapa besar kemurkaan dan kemarahan yang diturunkan Allah Ta'ala atasnya. Dan betapa pedih siksa yang dideritanya. 

Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam beliau bersabda: 
"Ketika seorang lelaki berjalan dengan mengenakan pakaiannya, takjub dengan kehebatan dirinya sendiri, rambutnya tersisir rapi, berjalan dengan angkuh. Namun tiba-tiba Allah Ta'ala menenggelamkannya. Dia terus terbenam ke dasar bumi sampai hari Kiamat." (Muttafaq 'alaih)


Disalain dari Paviliyun Keluarga - Solusi dan Permasalahannya  dan 
Di Arsipkan Oleh ikwanmasihbelajar.blogspot.com
Read more »

Mengupas Perkataan Sayyiduna untuk Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam


Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

ROSULULLOH shalallahu ‘alayhi wasallam ADALAH SAYYIDUNA

Makna sayyid adalah seorang yang utama, mulia, agung, berkedudukan tinggi, pemimpin umat, dan lain sebagainya dari kebaikan dan keutamaan. [6]
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam adalah sayyid anak Adam. Beliau shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

Saya adalah sayyid anak Adam dan tidak sombong.[7]

Imam al-Izzu bin Abdussalam berkata: Sayyid adalah seorang yang memiliki sifat dan akhlak yang indah. Hal ini menunjukkan bahwa beliau manusia yang paling utama di dunia dan akhirat. Adapun di dunia karena beliau memiliki akhlak-akhlak yang agung sedangkan di akhirat karena balasan atau pahala bergantung pada akhlak. Kalau Alloh subhanahu wa ta’aala melebihkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam dari segenap manusia pada sisi akhlak, maka kelak Alloh subhanahu wa ta’aala melebihkan beliau derajatnya di akhirat.

Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam mengatakan hadits ini agar umatnya mengetahui kedudukan beliau di sisi Robbnya. Dan karena penyebutan kebaikan itu biasanya menjadikan kesombongan, maka Nabi menepis anggapan yang muncul dari orang jahil tersebut.? [8]
Bila ada yang bertanya: “Lantas bagaimana dengan teks hadits” :

Dari Muthorrif berkata: Ayahku mengatakan: Saya pernah pergi ke rombongan Bani Amir kepada Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam, lalu kami mengatakan: Kamu adalah : Sayyiduna, maka Nabi bersabda: As-Sayyid adalah Alloh[9]. Ini menunjukkan bahwa As-Sayyid merupakan salah satu nama Alloh ‘azza wa jalla. Kami mengatakan: Kamu adalah orang yang paling mulia dan agung di antara kami, maka beliau bersabda: Katakanlah dengan ucapan kalian atau sebagian ucapan kalian tetapi janganlah Setan menggelincirkan kalian.? (HR. Abu Dawud 4808)

Dzohir hadits ini tidak melarang kita mengatakan Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna. Bukankah sekilas ada pertentangan antara dua hadits di atas?

Masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Pendapat yang kuat menurut kami bahwa boleh mengatakan Sayyid kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam atau selainnya[10]. 

Adapun hadits ini, tidaklah menunjukkan larangan mengatakan Nabi shallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna, bahkan beliau mengizinkan dengan ucapannya ?Katakanlah dengan ucapan kalian. Yang dilarang oleh Nabi shallahu ‘alayhi wasallam adalah kalau setan menggelincirkan mereka yang berujung kepada sikap ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Nabi shallahu ‘alayhi wasallam dan mengangkat beliau dari derajat yang telah ditetapkan oleh Alloh subhanahu wa ta’aala.[11]

LAFADZ DZIKIR ADALAH TAUQIFIYYAH
Dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktu dan tempatnya bersifat tauqifiyyah (paten). Tidak boleh seseorang menambah, mengurangi atau merubah lafadznya walaupun maknanya shohih[12]. Untuk lebih memahami kaidah ini, perhatikan hadits berikut; Baro? bin Azib berkata:
?Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam pernah berkata kepadaku: ?Apabila engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhumu untuk sholat. Kemudian berbaringlah ke sisi kanan serta bacalah do?a: ?Ya Alloh aku berserah diri kepada-Mu, aku serahkan segala urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu, karena mengharap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat bersandar dan tempat menyelamatkan kecuali kepada-Mu. Ya Alloh aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan aku beriman kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus?. Maka jika engkau meninggal pada malam harinya sungguh engkau meninggal dalam keadaan fitroh dan jadikanlah do?a tersebut akhir yang engkau ucapkan. Aku mencoba untuk mengingat-ingatnya kembali dan aku katakan: ?rosul-Mu yang telah Engkau utus?. Nabi berkata: ?Salah, tapi katakanlah dan nabi-Mu yang telah Engkau utus?.? (HR. Bukhori 247, Muslim 2710).[13]
Ibnu Bathol rahimahulloh berkata: ?Lafadz-lafadz itu tidak boleh diganti karena telah keluar dari taman hikmah dan jawami?ul kalim (kalimat singkat tapi padat). Seandainya ucapan Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam boleh dirubah dengan ucapan lainnya niscaya akan hilang faedah kehebatan bahasa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam.? [14]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata: ?Hikmah yang paling tepat mengapa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam menyalahkan ucapan ‘rosul’ sebagai ganti dari ‘nabi’ adalah bahwa lafadz-lafadz dzikir adalah tauqifiyyah. Ada kekhususan yang tidak boleh dengan qiyas. Wajib untuk menjaga lafadz yang syar’i.?[15]
Imam al-Albani rahimahulloh mengatakan: ?Dalam hadits ini terdapat peringatan yang sangat tegas, bahwa wirid-wirid dan dzikir adalahtauqifiyyah. Tidak boleh dirubah, baik dengan menambah, mengurangi atau merubah lafadz yang tidak merubah arti. Karena lafadz ‘rosul’ lebih umum dari ‘nabi’, tetapi Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam tetap menyalahkannya?. [16]

Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : ?Termasuk kesalahan besar sebagian manusia adalah menjadikan dzikir-dzikir yang bukan dari Nabi sekalipun berasal dari tokoh mereka sendiri, lalu meninggalkan dzikir-dzikir dari Nabi Sayyid anak Adam dan Imam makhluk serta hujjah atas seluruh hamba?.[17]
Ibnu ?Allan rahimahulloh mengatakan: ?Tidak boleh seorang pun berpaling dari lafadz do?a Nabi. Dalam hal ini setan telah menggelincirkan manusia, sehingga ada suatu kaum yang membuat-buat lafadz do?a yang memalingkan dari petunjuk Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Maka waspadalah, janganlah kalian menyibukkan dengan hadits kecuali yang shohih saja.?[18]

BOLEHKAH MENAMBAH SAYYIDUNA DALAM SHOLAT?
Al-Munawi rahimahulloh berkata:
?Adapun menyebut Sayyidina dalam sholawat, maka hal ini dijelaskan oleh Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam tatkala para sahabat bertanya kepada beliau tentang tata caranya, lalu beliau shalallahu ‘alayhi wasallam menjawab: ?Katakanlah Allohumma sholli ?ala Muhammad? tanpa menyebut sayyidina.?
Oleh karenanya, Ibnu Abdissalam ragu-ragu. Apakah yang lebih utama adalah menyebut sayyidina sebagai bentuk adab kepada Nabi atau tidak menyebut sayyidina karena mengikuti dalil yang ada.
Sebagian mereka menguatkan pendapat yang kedua yaitu mencukupkan dengan lafadz yang ada, tanpa menambahinya. Sebagian lagi merinci, apabila dalam lafadz sholawat yang sudah ada contohnya tidak boleh ditambahi, apabila membuat sholawat sendiri tanpa lafadz yang sudah ada contohnya maka boleh menambahinya.[19]

Syaikh al-Albani rahimahulloh berkata: ?Pembaca memperhatikan bahwa tidak ada satu pun lafadz tambahan Sayyid pada hadits-hadits sholawat ketika sholat. Oleh karenanya, para ulama belakangan berselisih apakah tambahan tersebut disyari?atkan dalam sholawat Ibrohimiyyah[20]

Saya akan nukilkan fatwa penting dari al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani karena beliau adalah termasuk ulama Syafi?i yang ahli di bidang hadits dan fiqih.

Al-Hafidz Muhammad bin Muhammad al-Ghorobili (796-835) (murid imam Syafi?i ) berkata[21]: ?Beliau (Ibnu Hajar) ditanya tentang sifat sholawat kepada Nabi dalam sholat atau di luar sholat. Apakah disyaratkan mengucapkan sayyidina ataukah tidak dan manakah yang lebih utama? Beliau menjawab: ?Mengikuti atsar-atsar yang datang adalah lebih utama, jangan dikatakan: Barangkali Nabi shalallahu ‘alayhi wasallammeninggalkan hal itu karena sikap tawadhu? beliau. Karena kita katakan bahwa seandainya hal itu disunnahkan niscaya hal itu akan dinukil dari para sahabat dan tabi’in, dan kami tidak mendapatkannya atsar dari sahabat dan tabi?in tentang hal itu.

Demikianlah pendapat al-Imam asy-Syafi’i� ?Semoga Alloh meninggikan derajatnya? dan ia adalah orang yang lebih mengagungkan Nabishalallahu ‘alayhi wasallam. Di dalam khotbahnya yang termuat di kitab al-Umm dan merupakan pegangan utama pengikut madzhabnya, beliau berkata:
?Allohumma Sholli ‘ala Muhammad …? dan tidak berkata ?Allohumma Sholli ‘ala sayyidinaa Muhammad …? Al-Qodhi Iyadh membuat suatu bab tentang sholawat kepada Nabi dalam kitabnya asy-Syifa?. Beliau menyebutkan atsar-atsar yang banyak sekali dari sahabat dan tabi?in, tetapi tidak ada satupun tambahan ‘sayyidina’.
Masalah ini telah masyhur dalam fiqih. Namun seandainya hal itu sunnah niscaya tidak akan samar dan tidak dilalaikan oleh mereka semua, dan kebaikan itu adalah dalam ittiba?. Wallahu A?lam?.
Apa yang difatwakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh adalah kebenaran yang harus dipegang. Oleh karena itu Imam Nawawi rahimahullohberkata dalam ar-Rodhoh 1/265:
?Lafadz sholawat yang paling utama adalah: Allohumma Sholli ?Ala Muhammad?tanpa menyebutkan sayyiduna.”
Kita yakin bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna, tetapi yang menjadi pembahasan adalah bolehkan menambahi lafadz dalam sholawat yang tidak ada contohnya? Seandainya tambahan itu termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Alloh subhanahu wa ta’aala, tentu akan disampaikan oleh Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam dan para salaf.

Kita mengetahui bahwa Salafush Sholih dari kalangan sahabat dan tabi’in tidaklah beribadah kepada Alloh subhanahu wa ta’aala dengan mengucapkan ?Sayyidina? di dalam sholat. Padahal mereka pasti lebih menghormati Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam daripada kita, dan lebih mencintainya[22]. Dan perbedaan antara mereka dan kita bahwa kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Nabi shalallahu ‘alayhi wasallamadalah benar-benar dipraktikkan dengan ittiba? kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam.?[23]
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

www.abiubaidah.com


Foot Note :
[6] Lihat Al-Mufhim 6/48 oleh al-Qurthubi dan Al-Yawaqit wa Duror 1/198 oleh al-Munawi.
[7] HR. Muslim 1/2176.
[8] Bidayatus Su?ul fii Tafdhil Rosul hlm. 34, Tahqiq al-Albani
[9] Ini menunjukkan bahwa As-Sayyid merupakan salah satu nama Alloh q\. (Lihat Fiqhul Asma Husna hlm. 311 oleh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, An-Nahjul Asma 3/143 oleh Muhammad Hamud an-Najdi).
[10] Ada perbedaan tentang bolehnya mengatakan sayyid kepada selain Nabi n\, seperti kepada tokoh, alim dan lainnya. Pendapat yang benar adalah boleh berdasarkan dalil-dalil yang banyak. (Lihat Al-?Urfu An-Nadi oleh asy-Syaukani, Bada?iul Fawaid 3/213 oleh Ibnu Qoyyim) dan Mu'jam al-Manahi Lafdziyyah hlm. 306-307 oleh Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid). Namun tidak boleh mengatakan sayyid kepada orang kafir, munafiq dan ahli bid?ah karena itu termasuk penghormatan kepada mereka. (Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama?ah Min Ahli Bida? wal Ahwa 2/570 oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili). Termasuk juga mengatakan kepada orang kafir dengan Mr, ini tidak boleh. (Lihat Mu?jam al-Manahi Lafdziyyah hlm. 287oleh Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid dan Fatawa Nur Ala Darb 1/414 oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz).
[11] Al-?Urfu An-Nadi fii Jawaz Ithlaq Lafdzi Sayyidi ?Fathur Robbani- 11/5649 oleh asy-Syaukani dan Al-Qoulul Mufid 2/515 oleh Ibnu Utsaimin.
[12] Lihat penjelasan lebih luas tentang kaidah berharga ini dalam Tashih Dua? hlm. 41-42 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dan Ahkamul Adzkar hlm. 7 oleh Zakariyya Ghulam al-Bakistani.
[13] Lihat faedah-faedah berharga hadits ini dalam kitab Min Kulli Surotin Faedah hlm. 55-62 oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Romadhani.
[14] Syarh Shohih Bukhori 1/365.
[15] Fathul Bari 11/114.
[16] Shohih at-Targhib wat Tarhib 1/388.
[17] Majmu? Fatawa 22/525.
[18] Syarh al-Adzkar 1/17.
[19] Al-Yawaqit wa Duror 1/199-200.
[20] Para ahli fikih Madzhab Hanafiyyah dan Syafi?iyyah belakangan berpendapat bahwa tambahan sayyidina dalam sholat adalah sunnah dengan alasan adab kepada Nabi. (Lihat Raddul Muhtar 2/224 oleh Ibnu Abidin, Hasyiyah al-Bajuri 1/156, Argumentasi Ulama Syafi?iyyah hlm. 208 oleh Ust. Mujiburrahman).
[21] Dalam sebuah manuskrip di Maktabah Dhohiriyyah. Fatwa ini juga dinukil oleh Syaikh Jamaluddin al-Qosimi dalam al-Fashlul Mubin ?ala Aqdi al-Jauhar Tsamin hlm. 70 sebagaimana dalam al-Qoulul Mubin fi Akhto?il Mushollin hlm. 154 oleh Syaikhuna Masyhur Hasan Salman rahimahulloh.
[22] Inilah hakekat cinta kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang sebenarnya, yaitu dengan ittiba? (mengikuti sunnah beliau) dan tunduk terhadap petunjuk beliau, bukan hanya sekadar dengan pengakuan belaka.
[23] Dinukil secara ringkas dari Ashl Shifat Sholat Nabi� 3/938-944 oleh al-Albani. Lihat pula Ittihaf Anam Bima Yata?allaqu bis Sholati was Salam Ala Khoiril Anam hlm. 55-57 oleh Ahmad bin Abdillah as-Sulami.

Di Salin Dari : 
Paviliyun Keluarga - Permasalahan dan Solusinya 

Read more »

Sabtu, 03 September 2011

Hakikat Tasawuf



Bismillah ..

Tasawuf jelas bukan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan pula ilmu warisan dari 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu. Lalu dari manakah ajaran Tasawuf ini?

Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata:

“Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha." (At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)

Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam memerangi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)2

Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwasanya ajaran Tasawuf bukanlah dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.

Kesesatan-Kesesatan Ajaran Tasawuf

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:

1. Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluk-Nya (inkarnasi).

Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Iwaji, 2/600)

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)

Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُوْرَةِ شَابٍ

“Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.”
(Jawahirul Ma’ani, karya 'Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)

Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي ...

“Berkatalah Musa: 'Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.' Allah berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku'…" (Al-A’raf: 143)

2. Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).1 Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?

3. Keyakinan kafir bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah makhluk dan makhluk adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya

Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).2

Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ إِلاَّ آتِى الرَّحْمَنِ عَبْدًا

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)

4. Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada

Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).3

Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”4

Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)

5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih

Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingkarinya seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).1

6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat.

Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat. Hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)

Beliau juga berkata:
“Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: 'Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian', kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: 'Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian'."

Beliau melanjutkan:
"Dan bahwasanya 'Al-Yaqin' di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)

7. Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu bukan karena takut dari adzab Allah Subhanahu Wa Ta’ala (an-naar/ neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ

“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” ('Ali Imran: 131)

وَسَارِعُوآ ِإلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” ('Ali Imran: 133)

8. Dzikirnya orang-orang awam adalah لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ , sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “الله / Allah”, “هُوَ / huwa”, dan “آه / aah” saja.

Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلَهِ إِلاَّ اللهُ

“Sebaik-baik dzikir adalah لا إله إلا الله .” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu 'anhu, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).1

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
“Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هُوَ / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-'Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)

9. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya :

قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)

10. Keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari nur/ cahaya-Nya, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

فُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ ...

“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110)

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلآئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ

“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)

11. Keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut …

Wallahu a’lam bish shawab

Artikel : ikwanmasihbelajar.blogspot.com
Read more »

Selasa, 30 Agustus 2011

Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Hilal


Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Bulan

Oleh :Redaksi Mahad As Salafy

Telah dijelaskan oleh banyak para ‘ulama bahwa terjadinya perbedaan mathla’ antar berbagai negeri di belahan bumi ini adalah sesuatu yang dapat dimaklumi. Namun para ‘ulama tersebut berselisih pendapat ketika al-hilal terlihat di suatu negeri :

- Apakah ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ tidak berpengaruh terhadapnya.

- Ataukah masing-masing negeri berdasarkan ru’yah mereka sendiri, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ berpengaruh terhadap penentuan ru’yah bagi masing-masing negeri.

Pengertian Mathla’

Sebelum kita menyebutkan penjelasan para ‘ulama tentang perbedaan mathla’, kita sebutkan terlebih dahulu tentang makna kata “mathla’”

Mathla’ (مَطْلَعٌ ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna : waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Qadar :

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ القدر: ٥

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadar : 5]

Sementara Mathli’ (مَطْلِعٌ ) dengan harakat kasrah pada huruf al-lam, bermakna : tempat munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Kahf :

حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ الكهف: ٩٠

“Hingga apabila dia Telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur)” [Al-Kahf : 90] [1]

Pendapat Pertama :

Jumhur ‘ulama, di antara mereka Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad, berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan mathla’ tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan ru’yatul hilal. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa hal :

1. Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

“Jika kalian berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka bershaumlahlah dan jika kalian berhasil melihat hilal (Syawwal) maka berhari rayalah’.([2])

dan hadits :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]

“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari ([3])

Bentuk pendalilannya : bahwa konteks hadits di atas mencakup seluruh kaum muslimin tanpa memperhatikan adanya persamaan atau perbedaan mathla’.

2. Hal ini lebih menyatukan kaum muslimin dan mengurangi perpecahan.

3. Adapun Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha tentang kisah Kuraib, hanya berlaku bagi orang yang menjalankan shiyam berdasarkan ru’yah di negerinya, kemudian di tengah-tengah Ramadhan sampai berita kepadanya bahwa ternyata di negeri lain telah terlihat hilal satu hari sebelumnya. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya dia menyempurnakan shaumnya sampai 30 hari, atau jika berhasil melihat hilal maka dia mengakhiri shaumnya (yakni hanya 29 hari). Sehingga dengan itu hadits Abu Hurairah dan yang semakna, tetap berlaku sesuai dengan keumumannya, yaitu mencakup seluruh pihak yang telah sampai kepada mereka berita ru’yatul hilal, tanpa pembatasan negeri atau teritorial tertentu.

Pendapat kedua :

Al-Imam Asy-Syafi’i dan sejumlah ulama salaf berpendapat : diperhitungkannya perbedaan mathla’. Sehingga masing-masing negeri berdasarkan kepada ru’yatul hilal negerinya sendiri.

Dalil mereka :

1. Bahwa konteks hadits Abu Hurairah bersifat nisbi (relatif), yaitu ditujukan bagi yang melihat hilal, bila tidak melihatnya maka tidaklah masuk dalam konteks ini. Pendapat ini memiliki sisi pandang dari dalil naqli dan ilmu falaki. Dimana perhitungan waktu dalam setiap harinya berbeda-beda. Baik dalam berbuka maupun ketika shiyam berdasarkan nash dan al-ijma’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa perbedaan mathla’ merupakan kesepakatan para ilmuwan dalam bidang astronomi, maka jika sama mathla’nya berlakulah ru’yah negeri tadi (bagi negeri yang bermathla’ sama), bila tidak sama maka tidak berlaku.

Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Asy-Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam dan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` di Kerajaan Arab Saudi dalam keputusan no.2.([4])

2. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah :

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ اْلفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانَ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ : لكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ أَوَلاَ نَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لاَ،هكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ r

“Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits mengutusnya kepada Mu’wiyah di Syam,Kuraib berkata: Ketika sampai di Syam saya segera menunaikan pesan-pesan Ummul Fadhl. Kemudian muncullah hilal Bulan Ramadhan sementara saya masih berada di Syam dan saya melihatnya pada malam Jum’at.

Kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Lalu Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal Ramadhan : Kapan kalian melihat hilal? Saya katakan : Kami melihatnya pada malam Jum’at. Ibnu Abbas bertanya : Apakah kamu melihatnya ? Saya katakan : Ya, dan kaum muslimin juga melihatnya, kemudian mereka memulai shaum dan bershaum pula Mu’awiyah.

Kemudian Ibnu Abbas berkata : Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan melanjutkan shiyam sampai tiga puluh hari atau melihat hilal.

Saya katakan kepada beliau : Apakah tidak mencukupkan dengan ru’yah dan shaumnya Mua’wiyah ? Jawab beliau: Tidak, demikianlah itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami.”([5])

Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah :

” Konteks pendalilan dari hadits ini jelas sekali. Yang benar di kalangan madzhab kami, bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal (bila terlihat di suatu negeri tertentu) tidaklah berlaku secara umum untuk semua kaum muslimin (di seluruh penjuru dunia), tetapi hanya berlaku khusus untuk daerah-daerah yang saling berdekatan jaraknya, yang tidak boleh diqashar shalat pada jarak tersebut. Ada pula yang mengatakan berlaku bila mathla’nya atau teritorialnya sama, jika tidak sama maka tidak berlaku.”([6])

Dengan demikian, kita mengetahui bahwasa masalah ini membutuhkan penelitian yang serius dan ada peluang untuk berijtihad. Sedangkan perbedaan pendapat padanya adalah perkara yang terjadi di antara para ulama dan termasuk jenis perbedaan yang wajar.

Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah penentuan awal bulan, perlu diketahui pula sebuah nasehat yang penting dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam untuk kaum muslimin di seluruh negara Islam kitabnya Tamamul Minnah, dan seharusnya seluruh kaum muslimin memperhatikannya dan mengamalkannya. Beliau berkata :

“…permasalahan ini (pengkhabaran hasil ru’yatul hilal dari satu negeri kenegeri yang lainnya) adalah ha­l yang mudah untuk dicapai pada masa sekarang ini dan sudah dimaklumi, namun menuntut perhatian dari negara-negara Islam sehingga bisa terwujud dikemudian hari -insyaallah ta’ala- bersatunya negara-negara Islam. Maka saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shiyam Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ada yang menjalankan shaum bersama permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi karena hal ini akan memperluas perpecahan sebagaimana telah terjadi di beberapa negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. وَاللهُ الْمُسْتَعَان”([7])

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan pernyataan yang sama dengan pernyataan Asy-Syaikh Al-Albani di atas dalam kitab beliau Asy-Syarhul Mumti’ ketika menyebutkan pendapat yang ketiga :

“Bahwa setiap warga negara hendaknya mengikuti pemerintahnya masing-masing jika pemerintahnya menjalankan ash-shaum maka mereka juga menjalankannya, jika pemerintahnya berhari raya hendaklah rakyatnya berhari raya pula bersamanya. Seandainya ada khilaafah (pemerintahan) yang membawahi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia kemudian ada yang melihat hilal di negerinya, dan khalifah menetapkannya maka wajib setiap kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk bershaum atau berhari raya (sesuai dengan ketetapan khalifah/pemerintahnya - pen). Hendaklah kaum muslimin mengamalkan yang demikian ini yaitu bila pemerintah menetapkan ru’yah maka seluruh kaum muslimin yang dibawah kekuasaannya mengikuti baik dalam bershaum maupun berhari raya. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang kuat jika dipandang dari sisi keutuhan kemasyarakatan (kaum muslimin) . Kalaupun kita membenarkan pendapat kedua yang berdasarkan pada perbedaan mathla’ tetap wajib untuk tidak menampakkan adanya perbedaan dengan mayoritas kaum muslimin.”([8])

Dari keterangan-keterangan yang telah disebutkan di atas, kita mengetahui walaupun para imam dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah-masalah fiqh, namun mereka tetap bersatu dalam masalah-masalah manhaj (prinsip-prinsip agama). Hal ini karena manhaj mereka adalah satu yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salaf Ash-Sholeh, maka renungkanlah hal ini.

________________________
FootNote :
[1] Lihat Al-Mu’jamul Wasith pada maddah طلع .

[2] Al-Bukhari Kitabus Shaum, Bab 11 hadits no. 1909, Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 1081
[3] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909.
[4] Lihat Taudhihul Ahkaam jilid 3 hal. 134-135 hadits no. 541
[5] Syarh Shohih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi Kitabush Shiyaam bab.5 hadits no. 28-[1087]
[6] Lihat Syarh Shohih Muslim An-Nawawi : Kitab Ash-shiyam Bab. 5, hadits no.28-[1087]
[7] Tamamul minnah hal. 398
[8] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal. 322.



Disalain dari Blog Abu 'Ayaz  dan 
Dipublikasikan kembali Oleh ikwanmasihbelajar.blogspot.com
Read more »