Oleh : Asy-Syaikh Mushthafa Al-‘Adawiy hafidhahullah
Permasalahan suci atau najisnya lendir (ruthuubah) farji wanita terhenti pada pendapat suci atau najisnya air mani laki-laki. Sebagian ulama berpendapat tentang kesuciannya dengan berdalil pada hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaabahwasannya ia pernah mengerik air mani dari pakaian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata : “Seandainya air mani itu najis, tentu tidak cukup disucikan hanya dengan mengerik tanpa menggunakan air. Sedangkan hadits mengerik (mani) ini shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya”
Adapun pihak yang berpendapat najis mengatakan :
“Sesungguhnya air itu bukan syarat untuk menghilangkan najis dalam segala
keadaan. Jika tidak demikian, niscaya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikan suci kotoran yang ada pada
sandal. Padahal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengusapnya dengan tanah yang
kemudian membolehkan shalat dengannya”.
Aku (Asy-Syaikh Mushthafa bin Al-‘Adawiy) berkata : “Dan
telah shahih riwayat bahwasannya tanah itu suci (dan menyucikan)”.
Mengenai sucinya air mani yang dikemukakan oleh pendapat
pertama, mereka mengatakan : “Sesungguhnya mani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikerik oleh ‘Aisyah adalah bercampur dengan ruthuubah (lendir farji) ‘Aisyah. Oleh karena itu, ruthuubah farjinya adalah suci”.
Pendapat ini dibantah lagi (oleh pihak yang berpendapat
najis) dengan alasan bahwa mani yang dikerik oleh ‘Aisyah berasal dari ihtilaam, sehingga ruthuubah‘Aisyah
tidak bercampur dengannya.
Namun bantahan ini tidaklah kuat.[1]
Tentang pemasalahan ini, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah telah membuat satu bab dalam Shahih-nya (Fathul-Baariy,
1/396) : Baab : Mencuci Apa saja yang Terkena Sesuatu dari Farji Wanita (باب غسل
ما يصيب من فرج المرأة), dengan berdalil hadits ‘Utsman bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya mengenai seorang laki-laki
yang menjimai istrinya namun tidak sampai mengeluarkan mani, beliau bersabda :
يتوضأ
كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره
“Hendaklah ia berwudlu sebagaimana ia berwudlu untuk shalat,
dan mencuci dzakarnya”.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata (Al-Mughniy 2/88) :
في
رطوبة فرج المرأة احتمالان :
أحدهما : أنه نجس لأنه في الفرج لا يخلق منه الولد أشبه المذي.
والثاني : طهارته لأن عائشة كانت تفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو من جماع فإنه ما احتلم نبي قط، وهو يلاقى رطوبة الفرج، ولأننا لو حكمنا بنجاسة فرج المرأة لحكمنا بنجاسة منيها، لأنه يخرج من فرجها فيتنجس برطوبته، وقال القاضي : ما أصاب منه في حال الجماع فهو نجس، لأنه لا يسلم من المذي وهو نجس، ولا يصح التعليل فإن الشهوة إذا اشتدت خرج المني دون المذي كحال الاحتلام.
أحدهما : أنه نجس لأنه في الفرج لا يخلق منه الولد أشبه المذي.
والثاني : طهارته لأن عائشة كانت تفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو من جماع فإنه ما احتلم نبي قط، وهو يلاقى رطوبة الفرج، ولأننا لو حكمنا بنجاسة فرج المرأة لحكمنا بنجاسة منيها، لأنه يخرج من فرجها فيتنجس برطوبته، وقال القاضي : ما أصاب منه في حال الجماع فهو نجس، لأنه لا يسلم من المذي وهو نجس، ولا يصح التعليل فإن الشهوة إذا اشتدت خرج المني دون المذي كحال الاحتلام.
“Dalam permasalahan ruthubah farji wanita, ada dua kemungkinan :
1. Ia najis karena berasal dari farji yang tidak
tercipta melaluinya (ruthuubahtersebut) seorang anak. Statusnya mirip madzi.
2. Ia suci karena ‘Aisyah pernah mengerik mani dari
baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam yang berasal dari jima’. Sesungguhnya tidak
ada seorang nabi pun yang mengalami ihtilaam.[2] Dan air mani tersebut bercampur dengan ruthuubah farji
(‘Aisyah). Jikalau kita menghukumi kenajisanruthubah farji wanita, niscaya kita juga akan menghukumi
kenajisan air mani, karena air mani tesebut keluar dari farji wanita yang
menjadi najis akibat (bercampur dengan) ruthuubah.
Al-Qaadliy berkata : ‘Apa saja yang terkena sesuatu dari farji akibat aktifitas
jima’ adalah najis, karena ia tidak selamat dari tercampurnya madzi yang
statusnya najis’. Namun ta’lil ini tidak benar, karena syahwat jika memuncak
bisa menyebabkan keluarnya mani tanpa madzi seperti halnya ihtilaam” [selesai].
Telah berkata penulis kitab Al-Muhadzdzab (1/570) :
وأما
رطوبة فرج المرأة فالمنصوص أنها رطوبة متولدة في محل النجاسة فكانت نجسة ومن
أصحابنا من قال هي طاهرة كسائر رطوبات البدن.
“Adapun ruthuubah dari farji wanita, telah manshuush (dinashkan) bahwa ia najis karena berasal dari tempat yang
najis. Namun ada diantara shahabat-shahabat kami (ulama semadzhab) yang
mengatakan suci seperti seluruh cairan/lendir yang keluar dari badan[3]”.
An-Nawawiy rahimahullah berkata (Al-Majmuu’ Syarhul-Muhadzdzab, 1/570-571) :
رطوبة
الفرج ماء أبيض متردد بين المذى والعرق فلهذا اختلف فيها ثم ان المصنف رحمه الله
رجح هنا وفى التنبيه النجاسة ورجحه أيضا البندنيجي وقال البغوي والرافعي وغيرهما
الاصح الطهارة وقال صاحب الحاوى في باب ما يوجب الغسل نص الشافعي رحمه الله في بعض
كتبه علي طهارة رطوبة الفرج وحكي التنجيس عن ابن سريج فحصل في المسألة قولان
منصوصان للشافعي أحدهما ما نقله المصنف والآخر نقله صاحب الحاوى والاصح طهارتها
ويستدل للنجاسة أيضا بحديث زيد بن خالد رضي الله عنه أنه سال عثمان بن عفان رضي
الله عنه قال (أرأيت إذا جامع الرجل امرأته ولم يمن قال عثمان يتوضأ كما يتوضأ
للصلاة ويغسل ذكره قال عثمان سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم) رواه البخاري
ومسلم زاد البخاري فسأل على بن أبى طالب والزبير ابن العوام وطلحة بن عبيد الله
وأبي بن كعب فأمروه بذلك: وعن أبي بن كعب رضى الله عنه: أنه قال (يا رسول الله إذا
جامع الرجل المرأة فلم ينزل قال يغسل ما مس المرأة منه ثم يتوضأ ويصلى) رواه
البخاري ومسلم وهذان الحديثان في جواز الصلاة بالوضوء بلا غسل منسوخان كما سبق في
باب ما يوجب الغسل وأما الامر بغسل الذكر وما اصابه منها فثابت غير منسوخ وهو ظاهر
في الحكم بنجاسة رطوبة الفرج والقائل الآخر يحمله علي الاستحباب لكن مطلق الامر
للوجوب عند جمهور الفقهاء والله أعلم
“Ruthuubah farji adalah cairan yang berwarna putih bening yang meragukan
antara madzi dan keringat. Oleh karena itu, statusnya diperselisihkan dimanamushannif (pengarang) rahimahullah telah men-rajih-kan dalam kitab ini dan dalam At-Tanbiihul-Najaasah, dimana dirajihkan pula oleh Al-Bandaniijiy (akan
kenajisannya). Al-Baghawiy dan Ar-Raafi’iy berkata : ‘Yang shahih adalah suci’.
Telah berkata pengarang kitab Al-Haawiy dalam bab : Maa Yuujibul-Ghusl (Apa-Apa yang Mewajibkan Mandi) : “Asy-Syafi’iy rahimahullah telah menetapkan di sebagian kitabnya tentang kesucian ruthuubah farji (wanita). Dan dihikayatkan perihal kenajisannya dari
Ibnu Juraij. Kesimpulan dalam permasalahan ini bahwasannya ada dua perkataan
yang ternukil dari Asy-Syafi’iy, yaitu :
1. Yang disebutkan oleh mushannif (tentang
kenajisannya),
2. Yang dinukil oleh pengarang kitab Al-Haawiy bahwa
yang paling shahih (benar) adalah kesuciannya.
Pendalilan tentang kenajisan ruthuubah farji adalah hadits Zaid bin Khaalidradliyallaahu ‘anhu,
bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu : “Bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang
menjimai istrinya namun tidak sampai mengeluarkan mani ?”. ‘Utsmaan menjawab : “Hendaklah ia berwudlu sebagaimana ia berwudlu
untuk shalat, dan mencuci dzakarnya”. ‘Utsman kembali berkata : “Aku
mendengarnya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Al-Bukhari menambahkan : “Maka (Zaid bin Khaalid) pun
bertanya kepada ‘Ali bin Abi Thaalib, Az-Zubair bin Al-‘Awwaam, Thalhah bin
‘Ubaidillah, dan Ubay bin Ka’b; yang kesemuanya juga memerintahkan hal yang
sama”.
Dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata : “Wahai Rasulullah, apabila ada seorang laki-laki yang menjimai
istrinya, namun tidak sampai keluar (mani), apa yang harus ia lakukan ?”.
Beliau menjawab : “Cucilah apa-apa yang menyentuh wanita itu, kemudian
berwudlulah dan shalatlah”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Dua hadits yang
menyatakan tentang kebolehan shalat dengan hanya berwudlu tanpa mandi ini telah mansukh(terhapus)
sebagaimana disebutkan dalam bab Maa Yuujibul-Ghusl yang telah lalu.[4] Adapun perintah untuk mencuci kemaluan dan
apa-apa yang mengenainya (dari farji wanita) adalah tetap dan tidak dihapus.
Oleh karena itu, ini dhahir yang menunjukkan kenajisan ruthuubah farji. Sedangkan ulama lain membawa perintah mencuci kemaluan
tersebut hanya sebatas istihbaab(disunnahkan). Namun
kemutlakkan perintah dalam hadits itu menunjukkan kewajiban menurut jumhur
fuqahaa’. Wallaahu a’lam [selesai perkataan An-Nawawiy rahimahullah].
Aku (Asy-Syaikh Mushthafa bin Al-‘Adawiy) berkata : “Dengan
melihat perkataan-perkataan ulama di atas jelaslah bahwa tidak ada dalil shaarih (jelas) yang menunjukkan kenajisan ruthuubah farji wanita. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhariy rahimahullah :
يتوضأ
كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره
“Hendaklah ia berwudlu sebagaimana ia berwudlu untuk shalat,
dan mencuci dzakarnya” ;
tidaklah shaarih menunjukkan adanya pencucian dzakar itu akibat dari ruthuubahfarji
wanita. Ada kemungkinan perintah tersebut karena adanya (sisa) madzi (yang
najis) yang keluar darinya, sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan Miqdaad – ketika ia bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal madzi - , maka beliau bersabda :
توضأ
واغسل ذكرك
“Berwudlulah, dan cucilah dzakar/kemaluanmu”.
Dengan demikian, tetaplah kesucian ruthuubah farji wanita yang insya Allah akan ada tambahan keterangannya dalam pembahasan hukum ifraazaat (keputihan) yang keluar dari farji wanita.
Pertanyaan :
“Apa hukum ifraazaat yang keluar dari farji wanita . Apakah ia membatalkan wudlu
atau tidak ?
Jawab :
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kami memberikan
beberapa rambu terlebih dahulu.
Pertama, ketika terjadi perselisihan pendapat, maka wajib untuk
mengembalikan urusannya kepada Allah dan Rasul-Nya dimana hal itu merupakan
konsekuensi keimanan kita terhadap Allah dan hari akhir.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil-amri[5] di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].
اتَّبِعُوا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ
أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan
janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran (daripadanya)” [QS. Al-A’raaf : 3].
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” [Al-Hasyr : 7].
Kedua, yaitu perkataan sebagian
orang :
كل ما
خرج من السبيلين ينقض الوضوء
“Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (dubur dan qubul)
adalah membatalkan wudlu”
bukan termasuk sabda Al-Ma’shum shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan belum menjadi ijma’ (kesepakatan) umat. Perkataan itu
hanyalah diambil dari beberapa dalil yang ada dan menjelaskan bahwa kebanyakan
sesuatu yang keluar dari dua jalan dapat membatalkan wudlu’. Dan posisi kami
dalam permasalahan ini tidak menyepakati untuk menghukumi berdasarkan kaidah
ini, namun kami akan mendiskusikan dan membahasnya dengan perincian (dalil dan
permasalahan)-nya. Pada permasalahan kencing misalnya, maka telah ada nash dari
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa hal itu membatalkan wudlu. Begitu juga
dengan kotoran, kentut, darah haidl, darah nifas, mani, dan madzi. Tidaklah
termasuk di antara perkara-perkara ini sesuatu pun yang terhitung sebagai
pembatal wudlu kecuali berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Namun
jika tidak ada dalil, maka lebih baik tawaquf dan berhati-hati bagi seseorang dalam hal agamanya. Telah ada
dalil dalam permasalahan ini tentang sejumlah hal yang keluar dari dua jalan
tersebut (dubur dan qubul) tidak membatalkan wudlu, seperti : darah istihadlah. Dalam
kitab Ash-Shahihdisebutkan bahwa seorang wanita dari istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salamberi’tikaf bersama beliau dalam keadaan ber-istihadlalh.
Sebuah bejana diletakkan di bawahnya dan ia kemudian melakukan shalat.
Adapun ifraazaat (keputihan) yang keluar dari farji wanita bukanlah satu
perkara yang tersembunyi. Bahkan hal itu terjadi pada kebanyakan wanita. Hal
itu bertambah banyak saat kehamilan. Di sisi lain, ifraazaat ini bukan berasal dari tempat keluarnya kencing yang najis.
Dikarenakan keadaannya yang tidak tersembunyi, maka para wanita di jaman
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampun juga mengalaminya dengan jumlah banyak sebagaimana juga
terjadi pada wanita di jaman kita sekarang. Dan ketika tidak ada dalil yang
kita dapatkan yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (para wanita) berwudlu’
karena beberapa keadaan tersebut, maka lebih layak bagi kita dan lebih selamat
bagi agama kita untuk tidak mewajibkan kepada mereka untuk berwudlu – jika
memang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak mewajibkan kepada mereka.
Atas dasar itu, maka ifraazaat tidak terhitung sebagai sesuatu pembatal wudlu ketika tidak
ada dalil shahih dan shaarih yang memberikan keterangan. Wal-‘ilmu ‘indallah.
Sedangkan bagi orang yang mewajibkan wudlu dengan alasan
kehati-hatian, maka silakan berhati-hati untuk dirinya sendiri. Namun tidak
boleh ia mewajibkan bagi umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para wanitanya dengan apa-apa yang ia
wajibkan pada dirinya sendiri.
Dan saya telah melihat dalam permaalahan ini sebuah fatwa
yang goncang (mudltharibah) tanpa disertai dalil yang disandarkan kepada
Asy-Syaikh Al-Faadlil Muhammad bin ‘Utsaimin hafidhahullah dalam kitab yang berjudul : Fataawaa Al-Mar’ah, yang
dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnid. Dan inilah teksnya :
سؤال :
هل الرطوبة التي تخرج من المرأة طاهرة أم نجسة ؟
Pertanyaan : “Apakah ruthuubah yang keluar dari (farji) wanita itu suci atau najis ? Jazaakumullahi khairan.
Beliau (Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) hafidhahullah menjawab :
المعروف
عند أهل العلم أن كل ما يخرج من السبيلين فهو نجس إلا شيئا واحدا وهو المني. فإن
المني طاهر وإلا فكل شيء ذي جرم يخرج من السبيلين فإنه نجس وناقض للوضوء. وبناءً
على هذه القاعدة يكون ما يخرج من المرأة من الماء يكن نجسا وموجبا للوضوء. هذا ما
توصلت إليه بعد البحث مع بعض العلماء وبعد المراجعة. لكني مع ذلك في حرج منه لأن
بعض النساء يكون معها هذه الرطوبة دائما، وإذا كانت دائما فإن التخلص منها أن
تعامل معاملة من به سلس البول. فتوضأ للصلاة بعد دخول وقتها وتصلي. ثم إني بحثت مع
بعض الأطباء فتبين أن هذا السائل إن كان من المثانة فهو كما قلنا. وإن كان من مخرج
الولد فهو كما قلنا في الوضوء منه لكنه طاهر لا يلزم غسل ما أصابه.
“Yang ma’ruf menurut ahlul-‘ilmi (ulama) bahwa segala sesuatu yang keluar
dari dua jalan (dubur dan qubul) adalah najis, kecuali satu hal, yaitu mani.
Sesungguhnya mani adalah suci. Selain dari itu, segala sesuatu yang berwujud
yang keluar dari dua jalan itu statusnya adalah najis dan membatalkan wudlu’.
Atas dasat kaidah ini, sesuatu yang keluar dari (farji) wanita berupa cairan,
maka ia najis yang mewajibkan wudlu’. Inilah yang dapat aku simpulkan setelah
melalui pembahasan bersama sebagian ulama dan setelah proses muraja’ah. Namun
bersamaan dengan itu, bagiku, ada keberatan padanya. Hal itu dikarenakan
sebagian wanita selalu ada cairan itu terus-menerus. Dan jika itu
terus-menerus, maka penyelesaiannya sebagaimana penyakit kencing yang airnya
terus-menerus keluar; yaitu berwudlu setiap kali masuk shalat dan kemudian
shalat. Sesungguhnya aku telah membahas bersama sebagian dokter, dan akhirnya
menjadi jelas bahwa cairan ini jika keluar dari tempat kencing, maka hukumnya
sebagaimana kami katakan. Dan seandainya tempat keluarnya cairan itu dari
saluran peranakan, maka hukumnya sebagaimana kami katakan untuk berwudlu
darinya, namun status cairan itu suci yang tidak mewajibkan mencuci jika ada
sesuatu dikenainya (?!)” [selesai].
Demikianlah yang dikatakan oleh beliau hafidhahullah.
Dengan melihat fatwa ini kami melihat beliau tidak bersandar
dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Segala perkataan dapat diambil
ataupun ditolak, kecuali perkataan Al-Ma’shuum shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian, pendapat kami sebagaimana yang telah kami
sebukan bahwaifraazaat tidak membatalkan wudlu. Wal-‘ilmu ‘indallah.
[selesai perkataan Asy-Syaikh Mushthafa Al-‘Adawiy hafidhahullah].
Kesimpulan : Ruthuubah dan ifraazaat yang keluar dari farji wanita adalah suci, bukan najis.
[Abu Al-Jauzaa’ – diambil dari kitab Jaami’ Ahkaamin-Nisaa’ oleh Asy-Syaikh Mushthafa Al-‘Adawiy, 1/63-69;
Daarus-Sunnah, Cet. 1/1413 H].
[1] Sisi kelemahan
bantahan ini adalah bahwa hadits tidaklah sharih (jelas) berkenaan dengan pencucian baju karena
dari ihtilaam. Sebagian ulama
berkata : “Ihtilaam bagi
para nabi ‘alahis-salaam tidak boleh terjadi karena itu merupakan
permainan syaithan, dan syaithan tidaklah diberikan kekuasaan/kemampuan
melakukanya kepada mereka (para nabi)”. Sayangnya, perkataan ini tidak disokong
dalil.
[2] Pernyataan ini
membutuhkan nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan kami belum pernah
mendapatkan nash sebagaimana yang dimaksudkan.
إذا التقى الختانان فقد وجب الغسل.
“Apabila dua khitan bertemu, maka wajib baginya
mandi” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi no. 108-109, Asy-Syaafi’iy 1/36, Ibnu Majah no. 608, Ahmad 6/161,
‘Abdurrazzaq 1/245-246, dan Ibnu Hibbaan no. 1173-1174].- Abu Al-Jauzaa’.
[5] Telah berkata sebagian mufassiriin mengenai
tafsir firman Allah ta’ala : “dan ulil-amri di
antara kalian”; bahwasannya yang dimaksud dengannya (ulil-amri)adalah
ulama. Sebagian lain mengatakan : “Mereka adalah umaraa’(pemerintah).
Namun secara umum maknanya meliputi ulama dan umaraa’.Wallaahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar